Senin, 11 Mei 2009

Beberapa Tinjauan Baru Sebagai Alternatif Dalam Mengukur Pembangunan Olahraga Di Indonesia

Beberapa Tinjauan Baru Sebagai Alternatif Dalam Mengukur Pembangunan Olahraga Di Indonesia
"ZULKIFLI A. LAMUSU


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diantara kemajuan yang paling menonjol dalam setiap bidang keilmuan dewasa ini adalah teknologi, “teknologi” siapa yang tidak mengenal, mengetahui, dan menikmatinya. Suatu inovasi yang terus-menerus dan tiada henti dikembangkan para ilmuan di era globalisasi saat ini telah banyak memberikan manfaat bagi kita semua.
Sama halnya pada olahraga, di mana dalam pengembangan keilmuannya merupakan inovasi dari pada teknologi, karena fakta membuktikan dimana fenomena yang terjadi sejak dulu hingga saat ini dalam dunia olahraga telah melibatkan unsur-unsur pengembangan ilmu teknologi (IPTEK), dikatakan demikian karena teknologi adalah salah satu alternativ pendukung dalam mengukur kemajuan pembangunan di bidang olahraga. Dengan alasan inilah tak heran jika dari beberapa isu mengenai ilmu-ilmu olahraga hingga kajian-kajian dalam ilmu keolahragaan saat ini telah memposisikan teknologi pada urutan awal sebagai kajian utama dalam mengukur serta mengembangkan olahraga.
Tidak lepas dari kaitannya dengan teknologi, Indonesia merupakan salah satu Negara pengguna teknologi dengan tujuan mengedepankan olahraga walaupun dalam keadaan yang terbatas, menyadari hal ini perlu kita ingat secara bersama bahwa walaupun kita sebagai Negara yang telah mengimpor alat-alat olahraga berteknologi dari Negara lain tetap masih sulit untuk dapat membangun dan mengedepankan olahraga di negera kita, terbukti bahwa pada setiap event olahraga yang berskala internasional prestasi atlet Indonesia masih sangat perlu untuk diperhatikan secara bersama.
Dengan kondisi seperti ini, tak heran jika olahraga di negara kita penuh dengan masalah dan silang pendapat untuk mencari jalan keluar dalam menemukan ide-ide baru demi mengedepankan olahraga. Walaupun beragam macam masalah mengenai olahraga yang terjadi saat ini di Negara kita sedikitnya tidak merubah kesadaran para atlet dalam menjunjung nilai sportivitas pada setiap kompetsi berskala internasional, hal ini dapat diperhatikan yang mana atlet-atlet kita jarang terdengan bersaing secara tidak sehat untuk menjadi juara. Hal ini patut kita banggakan, tetapi apakah dalam mengukur pembangunan olahraga di Negara kita selamanya mengedepankan atau mengutamakan dari segi perolehan medali. Jika jawabannya adalah iya, apakah atlet di Negara kita selama beberapa tahun ini telah menampakkan peningkatan prestasinya pada setiap kompetisi olahraga internasional. Dan apabila jawabannya tidak, ide-ide atau jalan keluar seperti apa yang harus kita lakukan dalam mengukur pembangunan olahraga di Negara kita.
Bertitik tolak dari uraian di atas, menggambarkan dimana kondisi olahraga yang ada di Indonesia perlu ditinjau untuk mencari solusi yang sederhana untuk dapat membangun system keolahragaan yang ada.


II. PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Olahraga Di Indonesia
1. Permasalahan Olahraga Di Indonesia
Tak dapat dipungkiri bahwa olahraga di Negara kita diterpa oleh beragam macam masalah, dan bahkan di era krisis global saat ini masalah demi masalah dalam membangun olahraga di Indonesia semakin kompleks, terlebih lagi dengan krisis ekonomi yang boleh dikata sudah cukup lama melanda Negara ini. Dengan lemahnya perekonomian di Indonesia ternyata mempengaruhi sistem keolahragaan yang ada, pendek kata bahwa lemahnya perekonomian di Indonesia telah memperkecil anggaran untuk dana pembangunan olahraga, ini disinyalir dengan terbatasnya perhatian pemerintah untuk memberikan bantuan dana dalam memenuhi anggaran pembangunan olahraga, hal tersbeut dapat diperhatikan dimana pemerintah memberikan bantuan dana hanya terbatas pada beberapa cabang saja, dengan kondisi seperti ini maka akan mempengaruhi pembinaan serta prestasi olahraga yang ada.

PRESTASI

PEMBINAAN

PERMASALAHAN



2. Peninjauan Cabang Olahraga Yang Dikompetisikan Pada PON
Seiring dengan perubahan dan tantangan dalam perkembangan zaman saat ini, ide-ide baru untuk membangun, mengedepankan, menciptakan dan mengadakan perubahan dalam dunia olahraga semakin marak, khususnya di Indonesia dalam konteks PON banyak perubahan dan penciptaan olahraga baru untuk dikompetisikan, beberapa cabang olahraga yang dikompetisikan pada PON sejak beberapa tahun kemarin perlu untuk dikaji bersama, karena ada beberapa cabang olahraga yang dimasukkan dalam PON tidak dalam jalur konteks pengertin olahraga yang sebenarnya, hal tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan Lutan (1992) menurut pandangannya bahwa, dalam konteks PON sebenarnya banyak orang tak sependapat, misalnya mengapa aeromodeling dan catur disebut sebagai cabang olahraga, kondisi ini sebenarnya perlu dikaji secara bersama, artinya bahwa jika ke-dua cabang tersebut dipertandingkan pada kompetisi olahraga dalam Konteks PON, apakah memberikan sumbangsi yang sangat berharga tentang makna olahraga sebenarnya, dan apakah prestasi atlet dalam cabang olahraga yang dimaksud dapat dibina dan dikembangkan sampai pada kompetisi olahraga yang berstandar internasional (Olymiade), jawabannya tentu tidak, karena permaian yang dikatakan bagian dari pada cabang olahraga tersebut hanyalah ide-ide yang kurang mendasar bangsa kita dalam mengukur prestasinya melalui perolehan medali.

3. Peninjauan Prestasi Yang Pernah Diraih Indonesia
Dari uraian di atas jika kita sedikitnya mundur dan mengenang kembali masa-masa kejayaan dimana Indonesia sejak terjun pada Asian Games pertama tahun 1951di New Delhi, ini adalah tahap awal dalam mengukur kemampuan atlet Indonesia pada kompetisi se-Asia, tahap awal tersebut memang belum begitu menonjolkan prestasi para atlet Indonesia, akan tetapi pada Asian Games ke IV tahun 1962 di Jakarta, Indonesia tercatat sebagai urutan kedua dibelakang Jepang, (Siregar dalam Harsuki: 2003). Ini mengisyaratkan bahwa prestasi yang cukup gemilang tersebut meupakan wujud dari pada tanggung jawab bersama, dalam hal ini dukungan pemerintah saat itu merata di segala bidang, salah satunya yaitu bidang olahraga.

4. Keterpurukkan Olahraga Indonesia
Pada dasarnya banyak hal yang menyebabkan keterpurukkan kondisi olahraga di Indonesia, antara lain yang masih menjadi masalah klasik dan sering menghantui pembinaan-pembinaan olahraga di berbagai daerah selama ini yaitu minimnya fasilitas latihan. Belum lagi persoalan dana untuk pengadaan sarana serta peralatan-peralatan yang ditunjang oleh teknologi mutakhir menjadi kendala besar untuk membangun sistem keolahragan di Indonesia, Ini sebenarnya suatu alasan yang boleh dikata penyebabnya adalah faktor manejemen sistem keolahragaan di Indonesia yang amburadul, apabila faktor tersebut tidak perbaharui sejak dini, maka prestasi olahraga di Indonesia sulit untuk dikembangkan.
Ada sebuah hal unik yang perlu perhatikan jika kita mampu menanalogikan karakter bangsa dari olahraganya, yaitu minimnya prestasi olahraga kita saat ini ternyata berbanding lurus (seimbang) dengan minimya rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
Rasa kebangsaan masyarakat Indonesia jika dipikirkan telah berkurang disebabkan oleh pengaruh globalisasi. Dikatakan pengaruh globalisasi karena arus informasi yang begitu luas saat ini telah mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia. Sama halnya dalam olahraga, contoh kasusnya ditunjukkan oleh sejumlah Tim Nasional PSSI yang menolak masuk Pelatnas karena bayaran yang tak sepadan. Yang ke-dua adalah maraknya kasus kepindahan atlet ke propinsi lain demi mencari bayaran tinggi (Achmad Faris, 2009).
Pandangan di atas menggambarkan bahwa menurunnya rasa nasionalisme yang melekat pada insan-insan olahraga Indonesia hingga jajaran pengurus oraganisasi-organisasi olahraga dan beberapa elit politik saat ini mengakibatkan turunnya daya juang para atlet, dan sebagian insan olahraga tidak murni lagi dalam memperjuangkan prestasi olahraga nasional untuk nama Indonesia.

B. Memaknai Hakikat Olahraga
Menurut Harosno, (2008) bahwa olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan kualitas hidup, pengertian ini memiliki makna filosofis dan jika dikaji bersama akan memberikan sedikit bayangan tentang hal-hal apa yang akan dilakukan untuk membangun dan mengedepankan olahraga itu sendiri.
Olahraga merupakan suatu aktivitas fisik yang dikenal sebagai kegiatan terbuka bagi semua orang sesuai dengan kemampuan, kesenangan dan kesempatan, tanpa membedakan hak, status, sosial, budaya atau derajat di masyarakat, hal ini senada dengan apa yang dikemukakan Supandi, (1988) menurutnya bahwa asas olahraga bagi semua orang (sport for all) kini makin memasyarakat, dengan demikian maka saat ini olahraga telah merasuk ke tiap lapisan masyarakat, dan sebagai bagian dari budaya manusia. Pendek kata olahraga dilakukan dan menarik bagi semua orang tanpa memandang jenis ras, kepercayaan, politik dan geografi.
Berkenaan dengan gejala bahwa olahraga merupakan budaya universal, maka timbul pertanyaan yakni mengapa orang tertarik untuk berolahraga? Meskipun banyak teori yang mencoba untuk menjawab pertanyaan ini, namun tak satupun yang paling memuaskan, hal ini karena makna olahraga bagi setiap orang berbeda-beda. Contoh misalnya makna lari bagi pelari professional berbeda dengan makna lari bagi seorang pelari biasa pada pagi hari bertujuan sekedar untuk memelihara kesehatannya, namun jika ditelusuri lebih lanjut, yang mana hakikat keterlibatan seseorang dalam berolahraga yakni untuk memenuhi kebutuhannya baik sebagai individu maupun mahluk sosial (Supandi dalam Lutan,1992:32). Berbeda dengan negara kita, walaupun secara faktual masyarakatnya banyak yang mulai tertarik dan telah menyadari pentingnya olahraga bagi kehidupan, akan tetapi hal tersebut masih saja belum bisa membangun kondisi olahraga yang ada, hal ini di sadari bahwa sarana-prasarana serta fasilitas olahraga yang ada belum menunjang, dan sebagaian besar maysarakat kita mengasumsikan bahwa olahraga hanya sebatas kesenangan serta kebugaran semata.

C. Kesadaran Dalam Membangun Olahraga Dengan Tinjauan Sport Development Indeks
Sport Development Index (SDI) adalah istilah baru dalam olahraga Indonesia. Ini semacam metode pengukuran yang diklaim sebagai alternatif baru untuk mengukur kemajuan pembangunan olahraga. Untuk itu Menurut Cholik dan Maksum, (2007) SDI adalah indeks gabungan yang mencerminkan keberhasilan pembangunan olahraga berdasarkan empat dimensi dasar yaitu: (1) ruang terbuka yang tersedia untuk olahraga, (2) sumber daya manusia atau tenaga keolahragaan yang terlibat dalam kegiatan olahraga, (3) partisipasi warga masyarakat untuk melakukan olahraga secara teratur dan, (4) derajat kebugaran jasmani yang dicapai oleh masyarakat. Jika dibahasakan, maka SDI dapat diterjemahkan menjadi IPO (Indeks Pembangunan Olahraga). Alasan mengapa tidak digunakannya istilah IPO, karena istilah SDI dikenal luas di dalam komunitas olahraga, terutama para pengambil kebijakan olahraga, temasuk di dunia internasional.
Dalam berbagai referensi olahraga didefinisikan secara berbeda-beda, tergantung dari cara pandang yang digunakan. Menurut WHO, olahraga (dalam hal ini mengambil istilah physical activity) yaitu segala bentuk aktivitas gerak yang dilakukan setiap hari , termasuk bekerja, rekreasi, latihan, dan aktivita olahraga. Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 disebutkan bahwa olahraga adalah segala kegiatan yang sistematik untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani dan sosial. Dari dua definisi tersebut sekurang-kurangnya ada empat konsep dasar yang diambil yaitu: (1) aktivitas fisik, (2) ketekunan, (3) pencarian kesempurnaan, dan (4) keberanian mengambil resiko. Kesimpulannya bahwa, olahraga bukan untuk mencari kemenangan, tetapi sebagai instrument meraih kesempurnaan hidup, baik fisik, mental maupun sosial.
Piere de Coubertin dalam beberapa tulisannya menyatakan bahwa Olympic games bukan hanya ivent olahraga semata, tetapi merupakan inti dari gerakan sosial yang luas, dimana melalui kegiatan olahraga akan meningkatkan pengembangan kualitas sumber daya manusia dan saling pengertian secara internasional (International Olympic Comitte, 2002 dalam Cholik, 2009). Dari penjelasan tersebut jika di tinjau kembali nampaklah bahwa olahraga telah menjadi komeitmen bersama untuk diyakini sebagai salah satu instrument dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih baik.

D. Tinjauan Dalam Mengukur Pembangunan Olahraga Di Indonesia
Pada awalanya keberhasilan dalam pembangunan hanya diukur dengan satu indikator, yaitu pendapatan perkapita, Negara yang pendapatan perkapitanya tinggi dianggap sebagai Negara yang berhasil dalam pembangunan. Tetapi perlu disadari bahwa pembangunan bersifat multi faktor dan multi dimensi. Mungkin kurang bijaksana jika kita mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan hanya diukur dengan satu indikator.
Begitupun dalam olahraga, rasanya terlalu sederhana jika kita mengukur keberhasilan olahraga hanya dengan satu indikator, yaitu perolehan medali. Dengan demikian timbullah beragam macam pertanyaan tentang bagaimanakan mengukur keberhasilan pembangunan olahraga khususnya di Indonesia, apakah ada alternativ lain yang dapat dijadikan acuan dalam mengukur keberhasilan pembangunan olahraga? Pertanyaan-pertanyaan yang boleh dikata telah terjawab oleh beberapa Negara yang berkembang dan telah maju, kini baru dimulai pada Negara kita.

E. Tinjauan Berdasarkan Hasil Penelitian Tentang Sarana Olahraga dan Tujuan Masyarakat Di Indonesia Untuk Melakukan Olahraga
1. Tinjauan Berdasarkan Hasil Penelitian Tentang Sarana Olahraga
Sarana olahraga merupakan suatu wadah untuk melakukan aktivitas olahraga (Purnomohadi dalam Harsuki, 2003). Untuk itu sarana olahraga memang merupakan faktor utama dalam membangun kondisi olahraga, kita sadari bersama bahwa kondisi olahraga yang ada di Negara kita banyak masalah. Salah satu masalah yang sangat mendasar yaitu tentang kondisi sarana dan pra sarana olahraga yang kurang memnuhi standart. Jika kita melirik sedikit ke salah satu Negara di wilayah asia yang telah maju, yaitu China, Negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, untuk itu jika diperhatikan maka hal yang tidak mungkin apabila negara ini dapat membangun sarana atau fasilitas olahraga, akan tetapi diluar dari kenyataannya Negara tersebut mampu mendirikan Stadion olahraga berstandart internasional yang berteknologi mutakhir. Jika bandingkan dengan stadion kembanggan Bung Karno sangatlah jauh berbeda, akan tetapi sedikitnya dalam memperbaiki dan membangun kondisi olahraga kita, akan lebih baik jika diberbagai daerah mendirikan sarana olahraga walau hanya dalam kondisi sederhana.
Menurut Purnomohadi dalam Harsuki (2003) bahwa ketersediaan rata-rata lahan per-orang dari hasil survery secara acak mengenai sarana dan prasarana olahraga di dua daerah yang ada di Indoensia pada tahun 1993 yaitu:
- Dari wilayah DKI Jakarta diperoleh data dari :
Kecamatan Kembangan yaitu 0.33 m2/orang
Kecamatan Mampang Prapatan 0,12 m2/orang
Kecamatan Sawah Besar 0,24 m2/orang
Kalau dihitung rata-rata menjadi 0.23 m2/orang
- Di Wilayah DATI I Jawa Tengah diperoleh data :
Kecamatan Purwakarta Timur 1,75 m2/orang
Kecamatan Banjarsari Surakarta 0,36 m2/orang
Kecamatan Klepu Semarang 1,31 m2/orang
Kalau dihitung rata-rata menjadi 1.14 m2/orang
Di sini terlihat bahwa pada wilayah tiga kecamatan yang ada di Jakarta lebih sulit memperoleh lahan dari pada beberapa kecamatan yang ada di daerah Jawa Tengah.

2. Tinjauan Berdasarkan Hasil Penelitian Tentang Tujuan Masyarakat Di Indonesia Untuk Melakukan Olahraga
Undang-undang nomor 3 Tahun 2005 tentang sistem keolahragaan nasional menyebutkan bahwa pilar olahraga tidak hanya menyangkut olahraga prestasi, tetapi juga olahraga pendidikan dan olahraga rekreasi, artinya dengan hanya mendasarkan pada medali sebagai ukuran keberhasilan kita telah menafikkan eksistensi olahraga pendidikan dan olahraga rekreasi. Selain itu berdasarkan data nasional hasil sensus BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2003 menunjukkan bahwa masyarakat yang melakukan olahraga untuk tujuan prestasi di Indonesia adalah 7,8% dari total populasi. Sementara, sebagian besar masyarakat yaitu 65,2% melakukan olahraga untuk tujuan kesehatan, dan 27% untuk tujuan lainnya. Dengan demikian, tentu tidak adil manakala olahraga hanya diukur dari satu pilar saja, yakni olahraga prestasi dengan indikator perolehan medali, (Cholik dan Maksum, 2007).

F. Sport Development Indeks (SDI) Sebagai Alternatif Baru Dalam Mengukur Pembangunan Olahraga Di Indonesia
Seperti yang telah di uraikan di atas, jelas bahwa sistem keolahragaan yang ada di Negara kita saat ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, untuk itu dalam menata kembali kondisi olahraga, ada beberapa tinjauan sebagai alternativ yang telah dijadikan tolok ukur oleh para pakar untuk membangun kondisi olahraga di negara kita.
Salah satu tinjauan yang dijadikan alternativ tersebut adalah, membangun olahraga di Indonesia melalui Sport Development Indeks. Menurut Cholik dan Maksum (2007) bahwa SDI adalah indeks gabungan yang mencerminkan keberhasilan pembangunan olahraga berdasarkan empat dimensi dasar yaitu :
a) Ruang Terbuka
Ruang terbuka merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat untuk melaukan aktivitas fisik. Keberadaan ruang terbuka olahraga yang mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat dapat mendorong terciptanya suatu masyarakat yang gemar berolahraga atau beraktivitas fisik
Ruang terbuka merujuk pada suatu tempat yang diperuntukkan bagi kegiatan olahraga oleh sejumlah orang (masyarakat) dalam bentuk bangunan dan/atau lahan. Bangunan dan lahan tersebut dapat berupa lapangan olahraga yang standar atau tidak, yang tertutup (in-dor) maupun terbuka (out-dor), atau berupa lahan yang memang diperuntukkan untuk kegiatan berolahraga masyarakat.
Untuk dapat dikatakan sebagai ruang terbuka olahraga harus memenuhi syarat-syarat sebagai antara lain, ruang terbuka tersebut (1) didesain untuk olahraga (2) digunakan untuk olahraga (3) bisa diakses oleh masyarakat luas.
b) Sumber Daya Manusia (SDM)
Dinamika kegiatan kelahragaan akan sangat ditentukan oleh SDM yang menggerakkan roda kegiatan. Pengembangan SDM ini sudah mengalami perubahan yang sangat berarti seiring dengan anggapan dasar yang berbeda. Dahulu SDM dianggap sebagai tenaga kerja yang diset untuk efisiensi prodeksi, sehingga fungsinya sebagai instrument. Sedangkan saat iniSDM ditempatkan sebagai modal kerja sehingga kemampuan, pengetahuan dan keterlibatannya dalam setiap pengambilan kebijakan lebih mendapat penekanan. Dengan demikian Sumber daya manusia dalam olahraga yang dimaksudkan mengacu pada ketersediaan pelatih olahraga, guru penjasor, dan instruktur olahraga dalam suatu wilayah tertentu.
c) Partisipasi
Dari prespektif perorangan dikatakan bahwa, rendahnya tingkat partisipasi berolahraga disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1) kegiatan olahraga yang cenderung berorientasi pada peningkatan prestasi, sehingga membatasi partisipasi orang yang kurang berminat mengejar prestasi, (2) rendahnya derajat kesehatan atau kebugaran jasmani sehingga secara psikologis merasa tidak mampu, (3) tingkat ekonomi yang rendah sehingga tidak sanggup memenuhi pengeluaran minimal untuk melibatkan diri dalam kegiatan olahraga, (4) terkurasnya tenaga dan waktu akibat terlalu sibuk dalam pekerjaan, (5) belum adanya fasilitas olahraga di tempat-tempat umum yang meberikan akses kepada para penderita cacat, sehingga mereka tidak dapat memenuhi keinginannya bersama warga masyarakat lainnya.
Ditinjau dari prespektif sosial, dikatakan bahwa keterbatasan partisipasi disebabkan oleh (1) fanatisme paham yang menjatuhkan peluang wanita untuk berolahraga, (2) paham elitism yang menganggap olahraga sebagai kegiatan ekslusif yang semata-mata bertujuan untuk menaikkan prestice bangsa dan Negara di mata dunia internasional, (6) menganggap bahwa olahraga tidak mengandung unsur-unsur pendidika, disebabkan masih seringnya terjadi tindak kekerasan dalam olahraga.
Dari prespektif infrastruktur, kurangnya partisipasi masyarakat berolahraga disebabkan oleh (1) keterbatasan sarana, prasarana, dan ruang terbuka yang tersedia, (2) ketiadaan fasilitas khusus bagi penderita cacat fisik, (3) terbatasnya atau kurangnya dana pemerintah yang dialokasikan untuk kepentingan pemberdayaan olahraga rekreasi dan olahraga tradisional.
d) Kebugaran
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata berdampak pada pola aktivitas masyarakat. Peralatan yang serba otomatis seperti tangga elektronik dan remote control membuat orang relativ tidak melakukan aktivitas fisik. Hal yang sama telah melanda masyarakat yang ada di Indonesia, dimana kemutakhiran teknologi saat ini telah mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Survei Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa seiring dengan berjalannya waktu penyakit degenerativ seperti kardiovaskuler terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai penyebab kematian.
Kondisi yang demikian tentu sangat memprihatinkan, sehingga bisa dibayangkan bagaimana produktivitas kerja masyarakat kita. Karena alasan inilah masyarakat Indonesia perlu untuk didorong untuk melakukan latihan-latihan jasmani, karena kebugaran jasmani yang prima hanya dapat dicapai melalui latihan fisik yang sesuai dengan prinsip-prinsip latihan.
Kebugaran jasmani terdiri dari beberapa komponen fisik yaitu: (1) cardio-respiratory endurance yaitu daya tahan kardiovaskuler, (2) mascular endurance yaitu daya tahan otot, (3) strength muscle yaitu kekuatan otot, (4) muscular speed yaitu kecepatan otot dalam berkontraksi dan (5) flexibility yaitu kelentukan. Jadi jika seseorang memiliki kebugaran jasmani yang baik, maka dengan sendirinya akan memiliki kualitas komponen-komponen tersebut relative lebih baik.


III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengukur keberhasilan pembangunan tidak dengan menggunakan satu indikator, Begitupun dengan olahraga, rasanya kurang bijaksana jika kita mengatakan bahwa keberhasilan olahraga hanya diukur dengan satu indikator, yaitu perolehan medali. Karena itu dalam makalah ini tinjauan yang digunakan dalam mengukur pembangunan olahraga di Indonesia melalui Sport Development Indeks
Sport Development Index (SDI) adalah istilah baru dalam olahraga Indonesia. Ini semacam metode pengukuran yang diklaim sebagai alternatif baru untuk mengukur kemajuan pembangunan olahraga. Untuk itu keberhasilan pembangunan olahraga di suatu negara khususnya Indonesia harus diukur berdasarkan empat dimensi dalam lingkup kajian SDI yaitu: (1) ketersediaan ruang tebuka untuk olahraga, (2) partisipasi masyarakat, (3) sumber daya manusia, dan (4) tingkat kebugaran jasmani masyarakat. Dengan demikian maka pembangunan olahraga yang berhasil adalah mampu mendorong empat dimensi dasar tersebut untuk berkembang dan maju, dan pada ujungnya, barulah pembangunan olahraga ini mengerucut menjadi prestasi yang berbuah medali,''


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Faris. (2009). Kemerdekaan Olahraga. Internet. www.ensiklopedia.com

Cholik. (2009). SDI Cara Baru Mengukur Kemajuan Olahraga. Internet. www.bolanews.com

Cholik dan Maksum. (2007). Sport Develompent Indeks (alternative Baru Mengukur Kemajuan Pembangunan Bidang Keolahragaan). Jakarta. PT. Indeks

Harsono. (2008). Teori Gerak Manusia. Internet. www.ensiklopedia.com

Harsuki. (2003). Perkembangan Olahraga Terkini (Kajian Para Pakar). Jakarta. Raja Grafindo Persada

Lutan. (1992). Manusia dan Olahraga. Bandung. FPOK IKIP Bandung

Supandi. (1988). Sosiologi Olahraga. Bandung. FPOK IKIP Bandung

Hubungan timbal balik antara program pendidikan jasmani pada sekolah dasar, sekolah lanjutan dan sekolah tinggi hingga universitas

Hubungan timbal balik antara program pendidikan jasmani pada sekolah dasar, sekolah lanjutan dan sekolah tinggi hingga universitas
Program pendidikan jasmani dari K-12 hingga ke level sekolah tinggi dan perguruan tinggi seharusnya saling timbal-balik. Kontinuitas dan progresivitas menjadi ciri program ini, dari waktu siswa memasuki taman kanak-kanak hingga selesai. Perencanaan menyeluruh penting untuk memastikan bahwa masing-masing siswa terfahamkan dengan materi pendidikan jasmani dan dijamin bahwa mendapatkan pelajaran yang berulang, manajemen waktu dan penghilangan beberapa aktivitas dari kurikulum tidak terjadi.
Kontinuitas dan progresivitas tidak ditemukan saat ini dalam sistem pendidikan di beberapa sekolah di US. Di samping untuk memperbaiki level dan mutu, masing-masing tingkat pendidikan saat ini lebih otonom dalam menentukan program masing-masing dengan tim penulis kurikulum dan konsultan yang bertanggung jawab pada isi dan perkembangan kurikulum. Jika fokus perhatian kurikulum adalah siswa, sebagai konsumen produk maka perencanaan kurikulum akan memberikan siswa program yang berkelanjutan, berkembang secara dinamis dari awal hingga akhir proses pendidikan (K-12) hingga sekolah tinggi atau universitas).
Perencanaan kerjasama dan pertimbangan dilakukan untuk semua komunitas untuk memastikan bahwa kebutuhan masing-masing siswa sama. Beberapa komunitas yang terdiri dari direktur sekolah, komunitas pendidikan jasmani, dan manager program rekreasi secara teratur bertemu untuk memastikan adanya integrasi, koordinasi dan keseimbangan program pendidikan jasmani untuk seluruh komunitas.

Petunjuk manajemen untuk memilih alat bantu mengajar dan materi
Ketika memilih alat bantu audiovisual atau sumber lain dan materi, guru pendidikan jasmani harus mempertimbangkan prinsip berikut agar alat bantu tersebut bisa efektif, bermakna dan berharga.

- materi harus dipilih secara selektif dan benar-benar disaring.
Guru harus mengetahui secara singkat materi untuk menentukan apakah mereka cukup tepat untuk bagian dan tingkat usia siswa dan untuk memastikan bahwa informasi yang mereka berikan dikemas secara menarik, progresif dan dengan cara yang merangsang.

- persiapan yang pas untuk menyampaikan materi
Guru atau komite penanggung jawab sekolah harus memeriksa peralatan yang penting untuk digunakan dalam presentasi materi untuk memastikan bawa peralatan itu berada dalam kondisi yang siap pakai. Komputer, rekaman kamera, videotape, rekaman, film dan OHP. Perlu dikontrol secara teliti sebelum digunakan. Jadwal perawatan dan perekaman harus dirawat benar-benar.

- presentasi materi harus direncanakan sedemikian rupa sehingga terintegrasi dengan pelajaran.
Siswa harus benar-benar dikenalkan dengan topik tersebut, dan materi harus secara strategis ditempatkan sehingga bisa mempengaruhi proses pembelajaran dan siswa memahami kaitannya dengan materi pelajaran mereka.

- materi harus dipresentasikan kepada siswa dalam lingkungan pembelajaran yang cocok.
Siswa harus disiapkan dan ditempatkan dengan baik sehingga semuanya bisa melihat, mendengar dengan baik dan belajar dari materi yang disampaikan. Mereka harus menyadari bahwa mereka akan melakukan sesuatu terkait dengan materi yang diberikan.

- materi harus bervariasi
Jenis materi yang bervariasi harus dipilih dengan baik untuk presentasi sehingga merangsang dan memotivasi siswa. Seorang guru menggunakan yang videotape dan slide secara terbuka tidak akan mendapatkan manfaat yang maksimal jika materi yang diberikan cenderung menyebar.

- penggunaan materi tambahan dibatasi
Guru harus menempatkan batasan yang beralasan dalam penggunaan materi tambahan untuk memberikan keseimbangan antara alokasi waktu yang dibutuhkan dan alokasi waktu yang digunakan, contoh memberikan teknik servis pada seorang pemain tennis yang profesional.

- berhati-hati dengan perluasan materi yang berlebihan
Bagian yang beralasan dalam anggaran pengajaran adalah adanya seperangkat tambahan materi.

- rekaman dan evaluasi harus disiapkan
Semua materi tambahan harus didata dengan teliti dan tetap dipelihara filenya sebagai referensi waktu mendatang.

Dengan mengikuti prinsip di atas, guru akan mampu memilih tambahan alat pembelajaran yang menarik, bermakna dan berharga untuk siswa. Berikut adalah jenis variasi materi, aktivitas dan person yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran.


- materi bacaan :buku teks, majalah, rulerbooks, pamflet, jurnal, kliping baru dan selebaran.

- alat bantu audiovisual:gambar gerakan, slides, pengulangan proses pembelajaran, televisi, video-tape, rekaman, audio-tape dan disk.
- alat bantu khusus :komputer, alat peraga, materi fotografi majalah dinding, dan papan magnetik.
- person yang professional:dari asosiasi dan organisasi profesional.
- aktivitas komunitas:aktivitas rekreasional, PTA/PTO pensponsor event, pertandingan khusus, palang merah, partner of America dan organisasi sukarelawan yang lain.
- klinik :program dan permainan khusus yang diselenggarakan oleh tim kunjungan, organisasi komunitas, badan donatur seperti donatur olah raga wanita, federasi olah raga dan asosiasi/liga sekolah tinggi negeri.



Manajemen Kelas

Mengenai manajemen, baru saja kita bicarakan. Manajemen ini memerlukan pemikiran yang hati-hati, penilaian yang bagus dan perencanaan sebelum jelas dimulai. Pelaksanaan manajemen membantu memastikan fungsi kelas sebagai kelompok yang terkoordinasi dalam rangka mengefektifkan dan mengefisienkan tujuan dan latihan yang telah ditetapkan (dalam rencana pembelajaran). Manajemen yang berkualitas membawa kepada kenyamanan, kepuasan dan pengalaman yang berharga. Guru yang tengah memberikan pelajaran di depan kelas dengan kondisi pembelajaran optimal tentunya telah melakukan perencanaan waktu secara detail dari awal hingga akhir.
Berikut beberapa alasan mengapa pengorganisasian kelas yang bagus harus dilakukan oleh setiap guru dan tenaga administrasi :
- membantu mengatasi masalah kedisiplinan.
- memberikan makna dan tujuan pengajaran dan aktivitas yang diberikan.
- melakukan efisiensi, memberikan fokus yang tepat dan hemat dalam alokasi waktu.
- lebih meyakinkan akan melindungi dan memuaskan kebutuhan akan ketertarikan para partisipan.
- meyakinkan pentingnya kemajuan dan kontinuitas program
- menyediakan tujuan pengukuran dan evaluasi seperti feedback hasil dalam periode waktu tertentu.
- meyakinkan kesehatan, keamanan dan memaksimalkan hasil perolehan partisipan.
- menguatkan adaptasi program untuk menentukan kebutuhan dan ketertarikan individu.
- mengurangi kesalahan dan pengilangan materi yang direncanakan
- membantu memelihara waktu dan tenaga guru dan memberikan guru kepuasan karena merasa telah menyelesaikan sesuatu dengan baik.


Petunjuk manajemen
- Menyiapkan strategi dan rencana jangka panjang untuk periode semester, tahunan, juga rencana jangka pendek seperti harian, mingguan dan musiman.
- Jadwal yang jelas harus direncanakan untuk masing-masing periode, mempertimbangkan tujuan pembelajaran dan prioritas perhatian pada pakaian kelas, memberikan peran, keamanan, pemanasan, aktivitas kelas dan pendinginan dan beberapa hal pedagogis yang lain.
- Aktivitas harus direncanakan dengan hati-hati sehingga pendahuluan kelas dilaksanakan dengan tepat dan cepat, sehingga meminimalkan siswa menunggu dan waktunya maksimal untuk aktivitas siswa.
- Lingkungan kelas harus aman, tanpa hambatan, aktivitas kreatif dikuatkan. Peralatan berada dalam kondisi bagus dan ditempatkan di lokasi yang pas demi keamanan aktivitas. Lapangan dan tempat peralatan senam, penataan peralatan, logistik untuk aktivitas dan detail aktivitas yang lain harus benar-benar diperhatikan sebelum memulai kelas.
- Prosedur yang harus diikuti dalam locker room harus ditetapkan dengan jelas untuk aktivitas peralihan, pakaian, mandi dan ganti baju.
- Instruktur harus selalu hadir di kelas paling awal.
- Partisipan harus selalu dikuatkan dan dimotivasi agar selalu berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan terbaik sepanjang waktu.
- Sebuah rencana program penyesuaian dan evaluasi diberikan untuk menentukan kemajuan yang diperoleh partisipan dan keefektifan strategi pengajaran.
- Instruktur menggunakan pakaian yang pantas dan cocok.
- Instruktur harus memiliki seperangkat komando bagi partisipan, menyadari fungsi dan makna demonstrasi, alat bantu visual, penyusunan tujuan kooperatif, dan teknik strategi yang lain untuk mendukung pembelajaran.
- Kebiasaan yang dinginkan maju dan pemahaman kesehatan fisik, pembelajaran skill, keolahragaan, keamanan, partisipasi yang cukup dan konsep lain yang inheren dengan pendidikan jasmani harus secara kontinyu ditekankan.


Title IX
Pada bulan Mei 1975, Presiden Gerald Ford menandatangani ‘undang-undang Title IX3’ amandemen undang-undang pendidikan tahun 1972, yang menyatakan bahwa tidak seorangpun, dengan jenis kelamin apapun bisa dikeluarkan dari keikutsertaannya, tidak mendapatkan manfaat, atau memperoleh perlakukan diskriminasi pada program pendidikan atau aktivitas atas bantuan negara federal. Tanggal efektif diberlakukannya undang-undang tersebut adalah 1 Juli 1975. Title IX memberikan efek pada hampir 16.000 sistem sekolah publik di negara itu dan hampir 12700 institusi paska sekolah lanjutan. Sebagai langkah pertama, peraturan tersebut memberikan kesempatan kepada para pendidik (termasuk guru pendidikan jasmani) untuk melakukan pengujian materi dan kemampuan siswa atas beberapa kebijakan dan praktek di sekolah dan institusi mereka dan melakukan tindakan remedial yang diperlukan agar sesuai dengan hukum yang berlaku.

Alasan diberlakukannya ‘Title IX’
Alasan utama untuk memperundangkan Title IX telah disaksikan sebelum anggota kongres dan komite yang lain membicarakan beberapa efek perempuan yang telah beberapa waktu ditolak keikutsertaannya mengikuti aktivitas pendidikan jasmani, demikian juga beberapa wanita secara kontinyu tidak mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi. Sebuah survey nasional yang dilakukan oleh asosiasi pendidikan nasional menunjukkan bahwa meskipun wanita secara mayoritas berperan sebagai guru dalam sekolah publik, mereka hanya 3,5 persennya yang menduduki kepala sekolah lanjutan pertama dan 3% nya sebagai kepala sekolah pada sekolah lanjutan atas. Sehingga dipercaya bahwa melalui pemberlakuan dan pengabadian peran gender secara tradisional dan perbedaan seksual, yang dimiliki institusi pendidikan, untuk beberapa waktu menolak kesempatan kerja dan pola pendidikan yang seimbang bagi para wanita, partisipasi yang seimbang dalam proses sosio-kultural. Title IX diundangkan untuk memperbaiki permasalahan yang cukup fundamental ini.


Implikasi ‘Title IX’ untuk strategi pengajaran pendidikan jasmani
Kelas pendidikan jasmani harus diorganisasikan dalam dasar pendidikan campur antara laki-laki dan perempuan. Regulasi ini tidak berarti bahwa beberapa aktivitas diajarkan secara tercampur. Dalam kelas, siswa dikelompokkan menurut jenis kelaminnya dalam beberapa kontak fisik seperti gulat, basket, hockey es, rugby, dan sepak bola. Juga dengan kelas pendidikan jasmani yang lain, siswa bisa dikelompokkan berdasarkan kemampuan dasar, seperti pengelompokan menurut jenis kelamin. Meskipun jenis kelamin bukan sepenuhnya syarat dalam pengelompokan, standar evaluasi memiliki efek yang kurang baik dalam pengelompokan menurut jenis kelamin. Seperti standar pada tes kesehatan fisik, standar evaluasi yang berbeda diperlukan.
Sekolah dan perguruan tinggi harus memberikan kesempatan yang sama bagi kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan). Kesempatan yang sama dalam hal ini artinya bahwa aktivitas yang ditawarkan harus merefleksikan ketertarikan dan kemampuan bagi keduanya (laki-laki dan perempuan). Penawaran kursus yang cukup, fasilitas, peralatan harus bisa digunakan baik untuk laki-laki maupun perempuan dalam pendidikan jasmani maupun program olah raga. Dan salah satu pihak tidak boleh mendominasi penggunaan fasilitas dan peralatan tersebut, waktu berlatih yang cukup dan bantuan pengajaran juga harus diberikan kepada laki-laki maupun perempuan. Dan tidak ada satupun yang bisa mendominasi.
Sekolah dan perguruan tinggi harus memberikan anggaran yang seimbang, dengan cara yang sama. Meskipun alokasi dana yang seimbang tidak diminta, institusi pendidikan tidak bisa mendiskriminasikan jenis kelamin tersebut dalam menyiapkan peralatan dan perlengkapan serta pelayanan lain pada salah satu jenis saja.
‘Title IV membawa beberapa hal lebih tinggi di seluruh bagian negara dari pada hukum lokal daerah dan peraturan konferensi yang mungkin bertentangan dengan peraturan negara bagian.
Jika sebuah institusi menerima bantuan negara bagian, hal ini tentunya dalam rangka pemenuhan title IX, meskipun dalam atletik maupun program pendidikan jasmani tidak secara langsung menerima bantuan tersebut.
Tidak boleh ada diskriminasi dalam standar personal. Tidak diperbolehkan adanya diskriminasi dalam standardisasi personal dikarenakan jenis kelamin, termasuk status pernikahan ataupun orang tua untuk pekerjaan, promosi, peningkatan gaji, klasifikasi pekerjaan atau keuntungan sampingan.
Bantuan finansial harus dihargai secara seimbang. Peraturan mensyaratkan institusi untuk memilih siswa yang diberikan bantuan finansial berdasarkan beberapa kriteria tanpa memperhitungkan jenis kelaminnya.

Interpretasi regulasi Title IX
Berapa interpretasi regulasi Title IX mengatakan bahwa efek pengajaran strategi pendidikan jasmani didata di sini. Interpretasi seperti berikut datang dari beberapa sumber. Tujuan pengelompokan berdasarkan jenis kelamin berkaitan dengan jadwal kelas, aktivitas dan biaya tidak difasilitasi. Istilah ruang olah raga wanita mungkin bisa digunakan, tetapi penjadwalan untuk fasilitas ini tidak boleh terdengar diskriminatif dalam hal jenis kelamin. Prosedur dan kebijakan dalam hubungannya dengan hal seragam dan kehadiran harus diaplikasikan secara seimbang untuk keduanya, baik laki-laki maupun perempuan. Jenis kelamin yang dikucilkan secara administrative, seperti dalam penjurusan, tidak perlu melakukan penggabungan, walaupun fakultas keduanya bergabung. Jika secara signifikan jumlah siswa yang terdaftar dalam kelas pendidikan jasmani baik laki-laki atau perempuannya lebih besar maka harus dilakukan pengorganisasian. Supervisi ruangan ganti pakaian membutuhkan bantuan guru, ahli profesional atau guru dari jurusan lain. Tingkatan nilai dalam kelas pendidikan jasmani harus merefleksikan pertumbuhan dan kemampuan kedua belah fihak dan jangan dibandingkan satu dengan yang lain. Standar kemampuan memberikan perbandingan yang tidak fair tidak seharusnya dilakukan. Pada beberapa kasus, pemisahan standar digunakan untuk masing-masing laki-laki dan perempuan. Contoh : nilai kebugaran fisik seperti jumlah push-up dan chin-ups dalam 60 menit, diperlukan pemisahan standar.

Pencampuran kelas pendidikan jasmani
Karena ketetapan pencampuran keas adalah salah satu kunci implikasi dalam penetapan peraturan Title IX, topik ini akan banyak didiskusikan di sini.
Permasalahan dalam kelas pendidikan jasmani mengenai title IX seperti yang dikutip dalam literatur profesional. Weber mengindikasikan permasalahan sebagai berikut telah mengembangkan title IX : guru tidak secara profesional mempersiapkan pengajaran aktivitas yang bervariasi dalam kelas yang tercampur, guru pria maupun wanita secara tradisional membuat keputusan melalui pemikiran mereka bahwa sulit untuk membentuk sebuah tim dan berbagi dalam proses pembuatan keputusan, siswa juga menemukan permasalahan seperti tidak mampu melakukan beberapa aktivitas dengan tidak memuaskan di depan beberapa orang yang merupakan lawan jenisnya, dan beberapa dengan kemampuan sangat payah dikeluarkan dari keikutsertaannya dalam tim kelas pendidikan jasmani campuran yang highly skilled - berkemampuan tinggi.
Weber juga menekankan bahwa beberapa permasalahan ini bisa dipecahkan dengan cara guru menghilangkan bias gender, menggunakan strategi dan teknik pengajaran yang baru, dan menguji kembali filosofis mengenai pengajaran pendidikan jasmani. Pertimbangan dalam menetapkan program campur dalam pendidikan jasmani adalah untuk merespon level ketertarikan dan kemampuan partisipan ketika menyelenggarakan aktivitas alam kelas campuran, modifikasi yang cocok dibuat melalui peraturan dan melakukan aktivitas untuk menyeimbangkan kompetisi antara laki-laki dan perempuan.
Permasalahan yang lain yang muncul dalam kelas pendidikan jasmani adalah hasil dari Title IX termasuk tugas pembagian ruang, penjadwalan ruang olah raga untuk berbagai aktivitas, aktivitas pengajaran seperti gulat, potensial yang layak, supervisi ruangan untuk penyimpanan peralatan olah raga ganti baju locker dressing yang standard .
Pemenuhan Title IX. Title dikuatkan oleh undang-undang warga sipil oleh pemerintah negara bagian. Langkah pertama yang dilakukan adalah merekrut relawan. Jika ditemukan tindak kekerasan, dukungan bagian keuangan akan dihentikan dan pemeriksaan legal dilakukan seperti peradilan atas kekerasan yang dilakukan kepada departemen keadilan untuk pemberian hukum yang cocok.
Para pejabat hak-hak warga sipil mencoba untuk melakukan pendekatan Title IX secara konstruktif. Hal ini diharapkan bisa mensejajarkan tujuan Title IX yang hendak menghilangkan diskriminasi pada wanita secepat mungkin. Kesempatan untuk wanita adalah hukum negara dan harus didukung. Tujuannya adalah penggunaan penguatan dari masing-masing departemen dengan memberikan prioritas pada bentuk dasar diskriminasi. Artinya bawa gambaran total pemenuhan akan di perkirakan, dijadikan bahan pertimbangan, dengan informasi yang didapatkan baik secara individual maupun kelompok, sebagaimana menentukan penguatan prioritas dan pemenuhan dalam peninjauan ulang.
Peraturan title IX telah mulai pengembangan sejak hak-hak deklarasi warga negara tahun 1964. UU ini menghasilkan adanya kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan jasmani untuk seluruh siswa tanpa kecuali.
Pertanyaan apakah title IX diaplikasikan untuk semua program dalam sebuah institusi pendidikan atau apakah hanya diaplikasikan dalam program yang mendapatkan bantuan dari negara bagian telah beberapa kali disinggung. Grove City college memutuskan suatu peraturan bahwa Title IX diaplikasikan hanya untuk program yang menerima bantuan dari negara bagian. Pada tanggal 2 Maret 1988, Senat US mengadakan pemungutan suara untuk menyetujui RUU Senat 577, untuk tindakan restorasi hak-hak sipil. Tujuan tindakan ini adalah untuk memperbaiki Title IX mengembalikannya kepada tujuan aslinya dan menetralkan keputusan mahkamah agung dengan menyertakan Grove City College.

Adaptif/ pengembangan program pendidikan jasmani
Program adaptif/ pengembangan mengacu pad fase pendidikan jasmani yang berbenturan dengan kebutuhan individu, yang karena keterbatasan fisiknya, beberapa fungsi tubuhnya cacat dan dikembangkan melalui aktivitas fisik, atau keterbelakangan lain baik temporal maupun permanen menyebabkannya tidak bisa mengikuti pendidikan jasmani atau kondisi dimana diperlukan ketentuan dibuat untuk siswa penyandang cacat dalam kelas pendidikan jasmani. Ini juga mengacu pada siswa di sekolah atau universitas agar tidak ada pengelompokan klasifikasi ’rata-rata’ atau ‘normal’ dalam tingkat atau suai mereka. Siswa dipisahkan dai teman sebaya secara fisik, mental, emosional dan ciri sosial atau kombinasi dari beberapa hal di atas.
Prinsip perbedaan individu yang diterapkan dalam pendidikan secara keseluruhan juga diterapkan dalam pendidikan jasmani. Sebagian besar administrators percaya bahwa selama siswa bisa hadir di sekolah atau perguruan tinggi, dia akan mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pendidikan jasmani. Jika hal ini tidak dilaksanakan, artinya program harus diadaptasikan agar bisa memenuhi kebutuhan individual tersebut. Beberapa anak dan remaja tangung yang sembuh dari sakit yang berkepanjangan atau operasi atau yang menderita penyakit fisik dan emosional membutuhkan pertimbangan khusus dalam partisipasi dalam program aktivitas fisik yang beragam dan maksimal.
Hal ini tidak bisa diasumsikan bahwa individual dalam kelas pendidikan jasmani tidak memiliki beberapa jenis ketidakmampuan. Sangat disayangkan jika beberapa program dilaksanakan berdasarkan hal ini. Sebuah perkiraan dibuat bahwa satu dari delapan dalam suatu sekolah menderita kecacatan yang memerlukan beberapa ketetapan khusus dalam program pendidikan.
Sekolah dan perguruan tinggi akan selalu memiliki siswa yang karena beberapa faktor seperti hereditas, lingkungan, penyakit, kecelakaan, obat-obatan atau yang lain menderita cacat. Beberapa siswa ini memiliki kesulitan dalam penyesuaian diri mereka dengan lingkungan sosial dimana mereka bertempat tinggal. Tanggung jawab guru pendidikan jasmani adalah untuk membantu masing-masing siswa yang termasuk dalam daftar sekolah untuk mendapatkan pendidikan jasmani yang cocok. Meskipun seseorang memiliki beberapa kecacatan, hal ini tidak menyebabkan seseorang diabaikan. Faktanya, dengan mandat legal dan tantangan profesional yang dibutuhkan oleh masing-masing anak menikmati keuntungan ikut serta dalam pendidikan jasmani yang telah diadaptasikan sesuai kondisi mereka. Ketetapan untuk pengadaptasian dan pengembangan program menjadi satu kekurangan dalam pendidikan jasmani seluruh negara karena keterbatasan guru terlatih yang pas, karena biaya yang harus dikeluarkan dalam pengajaran dan karena beberapa administrator dan guru tidak menyadari tangung jawab dan kontribusinya sehingga mereka bisa menciptakan fase ini dalam pendidikan jasmani. Rintangan ini harus dipecahkan arena menyadari mandat untuk mendidik semua individual dalam semua fase dalam proses pendidikan secara total.
Penyandang cacat yang beragam
Negara memperkirakan 50 juta orang yang menyandang cacat yang telah tercover dalam gerakan perlindungan hak sipil warga negara. Tindakan ini di arahkan untuk memperoleh perlindungan yang seimbang yang dijanjikan 14 amandemen konstitusi United States.
Hasil dari tindakan para penyandang cacat, negara akhirnya memperhatikan kebutuhan mereka, sebagaimana potensi manusia pada umumnya. Hingga beberapa saat terakhir, penyandang cacat dipandang sebagai sosok yang tidak produktif, mengganggu dan meresahkan masyarakat. Sehingga menjadi hal yang umum ketika penyandang cacat dipandang sebelah mata. Tapi hari ini gambaran itu berubah. Mereka para penyandang cacat mendapatkan hak asasi mereka dibawah konstitusi orang Amerika penyandang cacat pada tanggal 26 Januari 1992 dan memberikan kesempatan pendidikan, memperoleh pekerjaan yang membuat mereka bermakna dalam dunia publik dan mendapatkan tempat dalam masyarakat.

Definisi berkaitan dengan adaptif / pengembangan program
Beberapa istilah yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan penyandang cacat. Istilah ini bervariasi dari publikasi yang satu ke publikasi yang lain. Beberapa kategori anak yang diidentifikasi menyandang cacat oleh kongres US menempati klasifikasi awal, istilah ini akan dimodifikasi untuk merefleksikan perubahan pandangan terkait dengan penyandang cacat, seperti yang terinfeksi virus HIV. Kategori ini termasuk keterbelakangan metal, tuna rungu, tuna wicara, tuna netra dan perilaku dan emosi yang menyimpang, kesulitan belajar, lumpuh fisik dan kondisi kesehatan yang lemah yang lain yang membutuhkan pelayanan spesifik.

Pendidikan khusus
Dibawah hukum federal, pendidikan khusus artinya desain pengajaran yang khusus tanpa membebankan biaya kepada orang tua / wali, pemenuhan kebutuhan yang unik dari seorang penyandang cacat, termasuk di dalamnya aktivitas kelas dan pendidikan jasmani, pengajaran rumah, dan pengajaran di rumah sakit dan dalam institusi.
Pendidikan jasmani
Pendidikan jasmani berkaitan dengan penyandang cacat dalam hukum federal; adalah perkembangan (1) kesehatan fisik dan motorik, (2) kemampuan motorik dasar dan polanya, (3) kemampuan dalam air, berdansa dan olah raga dan permainan individu dan kelompok (termasuk recreational dan olah raga sepanjang hayat). Guru pendidikan jasmani harus memberikan pelayanan kepada siswa sebagai bagian dari tim adaptasi dan persiapkan untuk mendesain program yang secara khusus yang akan diaplikasikan pada masing-masing siswa untuk aktivitas fisik.

IEP(Individualized education program ) – program pendidikan per-individu
IEP adalah program atau prescription tertulis untuk asing-masing siswa dalam kaitannya dengan kecacatannya. Akan lebih banyak dibicarakan dalam bab ini (lihat juga lampiran A).

Lingkungan dengan hambatan minimal
Intinya, lingkungan dengan hambatan yang diminimalkan adalah seorang penyandang cacat yang ditempatkan dalam kelas atau latar yang sama dengan kelas orang normal sebisa mungkin dimana beberapa fungsi keamanan bisa diaplikasikan. Lokasi ini mencakup ; kelas pendidikan jasmani regular yang full-time, kelas pendidikan jasmani dengan konsultasi dari spesialis untuk mengadaptasikan pendidikan jasmani, pendidikan jasmani regular part-time, dan pendidikan jasmani part-time yang diadaptasi, pendidikan jasmani yang diadaptasi dengan kelas reguler untuk aktivitas tertentu, pendidikan jasmani full-time yang diadaptasikan dalam sekolah regular, dan pendidikan jasmani yang diadaptasikan dalam sekolah khusus.

Fungsi tujuan pendidikan jasmani pagi para penyandang cacat
Memilih tujuan yang memberikan arahan untuk program pendidikan jasmani bagi para penyandang cacat dan menerjemahkannya menjadi sasaran untuk masing-masing partisipan, seperti yang digarisbawahi oleh AAHPERD dipresentasikan di sini dalam format yang telah dimodifikasi :
- Menginformasikan kepada siswa mengenai kapasitasnya, batas kemampuan dan potensi yang bisa dikembangkannya.
- Memberikan kesempatan siswa sesuai dengan kemampuannya untuk mengembangkan kekuatan tenaga otot organik dan kekuatannya, menggabungkan fungsi dan fleksibilitas dan kekuatan kardiovaskular.
- Memberikan kesempatan siswa dalam perkembangan sosial dalam olah raga rekreasional dan permainan.
- Memberikan siswa kesempatan untuk mengembangkan keahlian dalam olah raga rekreasional dan permainan.
- Membantu siswa menemukan pola hidup keseharian mereka.
- Membantu siswa penyandang cacat dalam perkembangan sosial mereka.
- Membantu siswa mengembangkan kebanggaan personal dalam rangka menanggulangi kecacatan mereka atau kelemahan yang lain.
- Membantu siswa mengembangkan sebuah penghargaan atas perbedaan individu dan mampu menerima keterbatasan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah kelompok.

Undang-undang publik 94-142
Tonggak sejarah dalam proposal Undang-undang bagi penyandang cacat dalam UU pendidikan untuk para penyandang cacat yang ditandatangani oleh presiden US sebagai UU Publik 94-142. UU ini mengacu pada IDEA (Undang-Undang pendidikan untuk Individu penyandang cacat). Perundangan ini membuat komitmen bagi pemerintahan federal dalam pendidikan anak penyandang cacat dan memberikan anggaran tahunan untuk tujuan ini. Pelayanan pendidikan yang diberikan pada para penyandang cacat yang tidak menerima fasilitas cuma-cuma dan pendidikan publik yang semestinya, seperti bantuan yang diterima penyandang cacat yang lain.
Pelayanan ini sekarang diberikan lebih luas dari lahir hingga usia 21, siswa penyandang cacat seperti yang ditentukan dalam PL 94-142 adalah mereka yang termasuk dalam daftar penerima pendidikan khusus dan pelayanan lain yang berhubungan. Pelayanan terkait, undang-undang yang dikatakan sebagai ‘transportasi dan perkembangan, koreksi dan pelayanan pendukung tanpa dibatasi oleh pekerjaan, kemampuan berbicara, terapi fisik, rekreasi dan sosial, medis dan pelayanan bimbingan’ meskipun beberapa siswa membutuhkan pendidikan khusus dan pelayanan yang terkait, tetapi hal ini tidak tercover dalam undang-undang.
Penetapan spesifik yang lain pada PL 94-142 memerlukan :
- Agen pendidikan lokal dan negeri melakukan kebijakan untuk memastikan setiap anak mendapatkan hak pendidikan cuma-cuma dengan tepat.
- Rencana program pendidikan individualisasi termasuk status kesehatan fisik dan kemampuan motorik, dan penjadwalan konferensi termasuk orang tua, guru (guru pendidikan jasmani dan guru khusus pendidikan jasmani), penataan kasus, administrator, agen pendidikan yang representatif yang tepat. Konferensi ini dilaksanakan sekali tiap tahun
- Mengacu pada proses untuk orang tua dan anak untuk memastikan bahwa hak-hak bisa mereka diterima dengan baik.
- Pembelanjaan tiap siswa minimal seimbang dengan jumlah yang dihabiskan untuk masing-masing siswa cacat dalam sekolah negeri atau seolah distrik lokal.
- Agen lokal dan agen pemerintah harus membawa serta mandat hukum menurut jadwal khusus yang tersedia
- Perkembangan sistem training personal yang komprehensif, termasuk pre-service dan in-service training untuk guru
- Bahwa siswa dengan cacat mental akan dididik dalam ‘lingkungan dengan hambatan minimal’. Artinya bahwa mereka akan ditempatkan di kelas reguler jika memungkinkan.
Aspek PL 94-142 berkaitan dengan pendidikan jasmani. Bagian 121 a. 306 peraturan PL 94-142 menetapkan persyaratan berikut untuk pendidikan jasmani :

121a. 307 pendidikan jasmani
(a) umum. Pelayanan pendidikan jasmani, khususnya yang didesain jika diperlukan, harus bisa digunakan untuk setiap anak cacat untuk menerima pendidikan jasmani seperti yang diperoleh anak dalam kelas regular, (b) pendidikan jasmani regular. Masing-masing anak harus diusahakan mendapatkan kesempatan ikut berpartisipasi dalam kelas pendidikan jasmani regular, kecuali :
– siswa yang didaftar mendapatkan fasilitas terpisah secara full-time
– siswa membutuhkan desain pendidikan jasmani yang khusus, seperti yang dijelaskan dalam program anak dalam program pendidikan yang diadaptasikan.
(c) pendidikan jasmani khusus. Jika secara khusus didesain untuk pendidikan jasmani seperti pada anak dengan IEP, agen publik bertanggung jawab atas pendidikan yang memberikan pelayanan secara langsung, atau melakukan penyesuaian agar pelayanan diberikan melalui program privat atau publik yang lain. (d) pendidikan dalam fasilitas yang terpisah. Agen publik bertanggung jawab untuk pendidikan siswa penyandang cacat yang didaftar pada pemakai fasilitas terpisah dipastikan menerima pelayanan yang tepat dalam pemenuhan persyaratan paragraf (a) dan (c) pad bagian ini.

Program pendidikan jasmani yang spesifik untuk siswa penyandang cacat
Setelah diidentifikasi dan memenuhi persyaratan, bahwa program IEP bisa digunakan untuk siswa penyandang cacat, suatu program pendidikan yang diindividualisasikan harus dikembangkan untuk masing-masing individu. PL 94-142 memerlukan beberapa persyaratan untuk mengembangkan program ini. Beberapa petunjuknya bisa dilihat pada lampiran A.
Istilah IEP artinya statemen tertulis untuk masing-masing siswa penyandang cacat dalam beberapa pertemuan yang dilakukan oleh agen pendidikan lokal atau unit pendidikan lanjutan yang berkualitas untuk memberikan supervisi atas ketentuan pengajaran khusus yang didesain yang sesuai dengan kebutuhan para penyandang cacat. Desain IEP harus mengandung :
a. Penyesuaian level yang ada saat ini dalam kemampuan siswa.
b. Kalimat yang mencantumkan pelayanan pendidikan tahunan, termasuk tujuan instruksional jangka pendek.
c. Kalimat pernyataan pelayanan pendidikan khusus untuk…….
d. Data proyeksi dan antisipasi durasi pelayanan dan
e. Garis besar kriteria obyektif yang cocok dan prosedur evaluasi dan jadwal untuk menentukan minimal pada dasar program tahunan dimana tujuan pengajaran telah dicapai.
IEP yang komprehensif harus dikembangkan dengan menggunakan pendekatan tim. Person berikut harus direpresentasikan di dalam tim, orang tua, guru (guru kelas, guru pendidikan jasmani, guru khusus), administrator, case manajer, siswa dan kalau ada seseorang yang bertanggung jawab pada supervisi pendidikan khusus, pelayanan terkait seperti bimbingan dan konseling dan agen lain yang representatif.

Fasilitas, peralatan dan perlengkapan
Fasilitas, peralatan dan pembekalan yang cukup dan memadai penting untuk mensukseskan program pendidikan jasmani untuk siswa penyandang cacat. Hal ii harus ditekankan untuk siswa pada program pendidikan jasmani yang spesifik atau yang telah diadaptasi karena fasilitas dan peralatan biasanya didesain untuk siswa kelas regular. Adaptasi kadang dilakukan jika diperlukan untuk siswa yang diarahkan untuk program regular.
Bagian perundangan yang terakhir dan hasil dari kebijakan legal yang beragam telah disediakan sekolah pinggiran untuk membuat fasilitas, peralatan dan perlengkapan yang penting tersedia dan bisa diakses untuk memastikan kualitas pendidikan untuk seluruh siswa. Ada beberapa pertanyaan, mengenai apakah siswa penyandang cacat disediakan peralatan, fasilitas dan perlengkapan yang cocok. Jenis fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan untuk diadaptasikan atau dikembangkan untuk pendidikan jasmani beragam, tergantung pada bagaimana program itu menghendaki (diadaptasi atau olah raga yang digabungkan atau latihan pembetulan, istirahat, rehabilitasi –penyembuhan, dan relaksasi) siswa penyandang cacat dan level sekolah dimana program tersebut dilaksanakan. Contoh, program sekolah dasar yang mengadaptasi pendidikan jasmani mungkin akan mengajarkan siswa penyandang cacat dalam arena senam regular atau bahkan dalam lingkungan yang lebih tidak mendukung, di dalam kelas. Sedangkan di sekolah lanjutan dan sekolah tinggi, tersedia fasilitas khusus atau gymnasium yang telah diadaptasi.
Departemen pendidikan Virginia, dalam instruksinya melalui booklet Physical Education for Handicapped students (Pendidikan jasmani untuk siswa cacat fisik) menggarisbawahi beberapa faktor yang harus dilakukan dalam melakukan pengajaran untuk siswa cacat. Di antaranya adalah desain bangunan yang:
- Pintu yang mudah dibuka, minimal selebar 48 inchi, dengan desain dua arah
- Tepian yang tidak licin, memiliki derajat keseringan yang tidak begitu tajam, dengan pegangan tangan pada kedua sisinya.
- Elevator atau lift dengan penempatan kursi ketika dibutuhkan dengan pengoperasian mesin yang cocok (pintu yang tertutup, bantuan tombol dalam huruf braille dan lain-lain)
- Lantai yang tidak licin.
- Ruang istirahat dengan toilet dengan ketinggian yang pas.